Welcome to My Blog

Welcome to My Blog and Have Fun...

Minggu, 06 Juni 2010

Dokter Gigi dan Bunga Matahari

”Aku benci dokter gigi,” hardikkku pada Ayahku. Aku benci jika mereka memaksaku ke dokter gigi. Umurku baru 15 tahun tapi aku mempunyai gigi yang berlubang. Lalu dengan kasar, ayahku menarikku , ”Ayo ” ujarnya. Aku tau dia tidak bermaksud kasar. tapi aku benci ketidakadilan di rumah ini, aku punya 3 orang kakak. Jessy, Daniel dan Jonathan. Mereka semua kebanggaan Ayah. Dan akulah anak pembuat masalah, meski itu bukan ulahku.Ibuku telah tiada saat melahirkanku, aku selalu disalahkan. kakak-kakakku tidak pernah mau bicara denganku entah sejak kapan. sampai aku sendiri sudah lupa saking terlalu lamanya. Aku sudah menyangka hal ini, mereka pasti menyalahkan ku atas kematian Ibu kami. Atau dalam pikiran mereka , Ibu mereka. Sejak umur 5 tahun aku sudah tau, saat mereka berbisik-bisik di kamar kakakku yang tertua. aku benci hidupku, dan ayahku sama sekali tidak menolong. Beliau terlalu sibuk pada pekerjaannya.
Ayah terus menarik badanku, sampai akhirnya mendorongku masuk ke dalam mobil yang berada di garasi. Kakakku tersenyum ke arah mobil mereka, sambil memotong rumput halaman rumah mereka. aku selalu mengganggap semua yang ada di rumah ini adalah milik mereka. hidup mereka dan aku hanya menjadi debu kecil yang tidak berarti. Dari sikap Ayahku, aku selalu melihat beliau selalu berusaha keras mengganggapku sebagai anak laki-laki, bukan gadis remaja yang memakai kebaya. Kakakku terus tersenyum , dan aku seratus persen yakin dia tersenyum pada ayah mereka.
Setelah berkendara lebih dari 15 menit, kami sampai di tempat praktek seorang dokter gigi. dan aku masih tidak peduli dan berontak. tapi betapa keraspun aku mencoba , aku tidak bisa mengalahkan tenaga ayahku. ayahku menyeretku k sebuah ruangan, aku rasa difungsikan sebagai ruang tunggu. seorang perempuan paruh baya, menyambut kami di mejanya, menanyakan beberapa hal dan meminta kami menunggu. aku memang jarang ke dokter gigi, mungkin hanya dua kali dalam hidup ku, termasuk hari ini. tapi seumur hidup aku tidak pernah melihat tempat praktek dokter seramai ini. ada kurang lebih 20 orang bersama kami. ada beberapa manula, dan sebagian laki anak kecil . tidak ada orang yang seumuran dengan ku, ” tidak membesarkan hati” lirihku dalam hati. hampir satu jam kami menunggu , baru lah namaku di panggil, ayahku menunggu diluar. dia tidak bicara, hanya mendongakkan kepalanya ke arah sebuah pintu, aku berjalan gontai. ”Ayah, menyebalkan!” umpatku. sambil memandang tajam ke arah tempat duduk ayahku. Ayahku tiba-tiba berdiri dan berlari ke arahku yang berdiri di depan pintu kayu merah, aku tetap memandang tajam, aku tidak takut, pikirku. Ayahku memegang erat tangan ku, ”Aku sudah muak dnegan mu, Ro. ” Ayah selalu memanggilku Ro. Jessy, Daniel, dan Jonathan selalu memanggilku begitu. jika hendak menyuruh-nyuruh ku. Kebanyakan aku jawab dengan bantingan pintu dan umpatan. ”Kau tidak pernah mau menuruti Ayah, kenapa kau tidak bisa seperti Jess, Dan atau Jo. Kau hanya pembuat masalah, masuk ke dalam. atau kau akan kuhukum!” hardiknya, aku marah, aku bukan pembuat masalah. mataku berkaca-kaca, aku menahan tangisku dalam-dalam. Aku ingin membalas ayahku, tapi satu katapun tidak ada yang meluncur dari mulutku. untuk beberapa menit. aku sadar orang-orang melihat pertengkaran kami, masih ada sekitar 5 orang disekitar kami.Lalu aku menarik nafas, ” Tidak pernahkah Ayah sadari , aku ini Rossie. Bukan Jess, Aku bukan pahlawan basket sekolah. Aku juga bukan Daniel, yang menguasai 5 bahasa, aku juga bukan Jo , yang sudah bisa membuat program saat dia seumurku , Yah. Aku rossie. Aku harap Ayah menreima itu. dan satu hal lagi, ” aku menarik nafas sedalam yang paru-paru ku mampu lakukan. ”aku benci ayah,” lirihku. aku juga muak, yah. dengan semua kemarahan mu, aku tidak membuat masalah. masalah itu yang mencariku. aku ingin kau ada di dekatku , yah. berbicara dengan ku mengenai masalahku. Tidakkah ayah mengerti , aku membutuhkanmu, aku menangis dalam hati. ”Aku tahu ayah marah, dan ayah memang selalu begitu.” kemarahan ku tidak bisa hanya dilampiaskan dengan kata-kata, seperti tumor yang berdenyut-denyut kencang dalam kepalaku. ingin rasanya kau membenturkan kepalaku ke dinding putih bersih ruangan ini. Aku membalikkan badanku. aku baru menyadari dokter gigi itu memperhatikan kami, aku rasa sudah sedari tadi dia memperhatikan kami. Aku masuk ke ruangan kecilnya itu. Setelah masuk, aku langsung duduk di tempat yang bisa direbahkan itu dengan lampu putih bersih bersinar. Di meja kecil kursi itu, banyak alat-alat kecil. Segelas air berkumur sudah disiapkan di samping kiriku. Aku lalu sadar dokter itu, tidak masuk ke dalam ruangannya. Tapi malah keluar mendatangi ayahku dan memintanya masuk ke ruangan itu bersamaku. ”Silahkan , Pak. Minimal harus ada satu orang keluarga atau teman yang masuk, untuk berjaga-jaga. ” ujarnya. Aku tidak mengerti dengan kata-kata ”untuk berjaga-jaga”.
Lalu akupun memejamkan mata, tapi aku tidak merasakan apa-apa. Padahal aku sudah membuka mulutku lebar-lebar berharap ini segera berakhir. Tapi Dokter yang duduk di sebelahku itu hanya tersenyum, dan berkata pada Ayahku yang duduk di kursi di depanku. Didepannya ada meja dengan tumpukan – tumpukan kertas di atasnya. Dokter itu menoleh ke arah Ayahku, ”Pak, maukah Anda menolong saya? Ambilkan saya bunga matahari di depan jendela itu. ” ujarnya sambil menunjuk satu-satunya pot di ruangan itu. Lalu ayahku mengambilnya dan bertanya, ”Apa yang ingin anda lakukan dengan bunga ini?” Dokter itu menjawab, ”Aku sangat sebal pada bunga ini.” ”Kenapa, Dok. ” Ujar Ayahku basa – basi. ”Kemarin aku menemukan biji bunga matahari , dan aku mengharapkan bunga tulip tumbuh sari biji itu.” jawabnya tersenyum masam. wajahnya sangat lucu, setidaknya bagiku. Lalu otakku berpikir keras. Apakah dokter ini sudah gila? ”Ayahku tertawa dan berkata, ”Dokter ini bagaimana, mana mungkin dari biji bunga matahari tumbuh tulip. Kodrat biji itu menjadi bunga matahari. ” Tiba-tiba Ayahku terdiam. beberapa detik kemudian Dokter itu berkata, ”Betul juga, bagaimapun kerasnya aku berusaha, berharap, bahkan memaksa. Biji itu akan tetap tumbuh menjadi Bunga Matahari, bukan Tulip. Tumbuh menjadi apa yang Tuhan ingin. Dan memiliki cahanya sendiri.” Aku terdiam dan mengerti, Ayahku terdiam sangat lama. Dan aku rasa beliau juga mengerti. Mengerti tentang bunga itu, dan tentangku.

By: Lukisan Hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar